Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Makro dan Keuangan Kemenko Perekonomian, Ferry Irawan, menyatakan bahwa utang Pemerintah saat ini masih dalam kendali yang baik untuk mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pengelolaan utang dilakukan dengan hati-hati dan terukur, dengan memperhatikan risiko suku bunga, mata uang, likuiditas, dan jatuh tempo yang optimal, sehingga Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dapat tetap sehat, kredibel, dan berkelanjutan.
"Pembiayaan melalui utang dilakukan oleh Pemerintah untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan APBN ketika pendapatan negara belum sepenuhnya mencukupi seluruh belanja negara atau saat diperlukan untuk pembiayaan investasi," ungkap Ferry dalam pernyataannya di Jakarta, pada hari Sabtu.
Diketahui bahwa rasio utang Pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) dari tahun 2014 hingga 2019 berada dalam rentang 24,68-30,23 persen terhadap PDB.
Angka tersebut mengalami peningkatan dengan laju yang moderat, terutama untuk mendukung percepatan pembangunan infrastruktur.
Meskipun sempat mengalami lonjakan yang signifikan akibat pandemi COVID-19, Pemerintah telah berhasil mengendalikan pertumbuhan utang sejak tahun 2021 hingga saat ini. Pada tahun 2023, utang Pemerintah tercatat sebesar 39,21 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Rasio utang Indonesia pada tahun 2023 juga lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain seperti Malaysia (67,3 persen), China (83,6 persen), dan India (82,7 persen). Hingga akhir Juli 2024, rasio utang kembali menurun menjadi 38,68 persen, yang menunjukkan bahwa angka tersebut masih jauh di bawah ambang batas aman sebesar 60 persen sesuai dengan ketentuan dalam UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara. Ferry menjelaskan bahwa struktur utang Pemerintah juga masih dalam kondisi yang sehat. Pada akhir Juli 2024, profil jatuh tempo utang Pemerintah terbilang aman dengan rata-rata tertimbang jatuh tempo selama delapan tahun. Sebagian besar komposisi utang Pemerintah terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) Domestik yang mencapai 70,49 persen, SBN Valas sebesar 17,27 persen, dan pinjaman sebesar 12,24 persen.
Kepemilikan Surat Berharga Negara (SBN) domestik terdiri dari Lembaga Keuangan yang menguasai sekitar 39,6 persen, Bank Indonesia dengan porsi sekitar 24,3 persen, dan kepemilikan asing yang hanya mencapai sekitar 14,0 persen, termasuk di dalamnya kepemilikan oleh pemerintah serta bank sentral asing. Investor individu memiliki sekitar 8,7 persen, sementara sisanya dipegang oleh institusi domestik lainnya.
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan efisiensi pasar SBN guna memperkuat ketahanan sistem keuangan Indonesia terhadap guncangan ekonomi dan fluktuasi pasar, demikian penjelasannya.
Lebih lanjut, ia mengungkapkan bahwa komitmen Pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal telah diakui oleh lembaga internasional. Dana Moneter Internasional (IMF) menegaskan bahwa Indonesia telah menunjukkan disiplin fiskal yang baik, memberikan ruang fiskal yang memadai untuk menghadapi risiko di masa depan sambil tetap mendorong pertumbuhan ekonomi.
IMF memprediksi bahwa utang Indonesia akan mengalami penurunan secara bertahap menjadi sekitar 38,3 persen dalam jangka menengah, terutama didorong oleh perbedaan pertumbuhan suku bunga kumulatif.
Oleh karena itu, Pemerintah terus berupaya menurunkan rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) melalui optimalisasi pendapatan negara, yang dilakukan melalui reformasi perpajakan yang efektif, pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik, serta insentif fiskal yang terukur untuk mendorong investasi, sambil tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan reformasi perpajakan.
Dalam Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025, pembiayaan utang (netto) direncanakan sebesar Rp775,9 triliun, yang akan difokuskan untuk mendukung percepatan transformasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.