Jakarta - Untuk menjaga konsistensi harga Pertalite di angka Rp 10.000 per liter di seluruh stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), pemerintah menyatakan harus menyiapkan alokasi subsidi dalam jumlah yang sangat besar. Kebijakan ini bertujuan untuk menjamin kesetaraan harga dan mencegah gejolak ekonomi di daerah-daerah, meskipun dengan konsekuensi pembebanan yang tidak kecil terhadap keuangan negara. Keputusan ini ditempuh setelah mempertimbangkan berbagai aspek makroekonomi dan sosial.
Arifin Tasrif menegaskan bahwa tanpa intervensi pemerintah melalui mekanisme subsidi, harga Pertalite akan berbeda-beda di setiap wilayah akibat perbedaan biaya logistik dan distribusi. Penetapan harga tunggal Rp 10.000 merupakan bentuk pemerataan dan keadilan, sekaligus upaya mengendalikan inflasi secara nasional. "Tujuannya adalah stabilitas. Stabilitas harga, stabilitas ekonomi, dan stabilitas sosial," kata Arifin.
Besaran subsidi tersebut dihitung secara terpusat dan dikelola dalam APBN. Mekanismenya, pemerintah membayar selisih harga kepada Pertamina selaku penyalur. Ketika harga keekonomian di suatu wilayah, misalnya di daerah terpencil dengan biaya distribusi tinggi, lebih besar dari Rp 10.000, maka selisihnya akan ditanggung oleh negara. Begitu pula sebaliknya, jika ada selisih yang menguntungkan, mekanisme bagi hasil juga berlaku.
Sistem ini membutuhkan pengawasan yang ketat untuk mencegah manipulasi data dan penyalahgunaan dana subsidi. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) secara rutin melakukan audit atas penyaluran subsidi BBM untuk memastikan setiap rupiah digunakan sesuai peruntukannya. Selain itu, sistem informasi yang terintegrasi antara Pertamina, Kementerian ESDM, dan Kementerian Keuangan terus ditingkatkan akurasinya.
Dari perspektif ekonomi daerah, kebijakan harga tunggal bersubsidi ini membantu mendorong aktivitas ekonomi di wilayah-wilayah yang secara logistik kurang menguntungkan. Pedagang, pengusaha angkutan, dan masyarakat di daerah terpencil tidak terbebani oleh harga BBM yang lebih mahal, sehingga daya saing wilayah dapat tetap terjaga. Ini merupakan bentuk pemerataan pembangunan melalui instrumen kebijakan energi.
Namun, para gubernur dan kepala daerah juga diingatkan untuk berperan aktif dalam pengawasan distribusi di wilayahnya. Mereka diminta untuk mencegah praktik penimbunan atau penjualan ke luar daerah (selisih) yang dapat mengacaukan pasokan dan merugikan negara. Sinergi pemerintah pusat dan daerah dinilai krusial untuk memastikan subsidi tepat sasaran.
Keberlanjutan kebijakan ini sangat bergantung pada kesehatan fiskal negara. Jika harga minyak dunia melonjak ekstrem dalam waktu lama, bukan tidak mungkin pemerintah harus melakukan penyesuaian. Oleh karena itu, sosialisasi mengenai dinamika harga energi global dan kerentanan fiskal Indonesia perlu terus disampaikan kepada masyarakat untuk membangun kesiapan bersama.
Pengungkapan besaran subsidi untuk mempertahankan harga Pertalite Rp 10.000 per liter diharapkan tidak hanya memenuhi hak publik untuk tahu, tetapi juga membangun pondasi dialog yang konstruktif tentang masa depan ketahanan energi Indonesia. Masyarakat diajak untuk menjadi bagian dari solusi dengan menggunakan energi secara efisien dan mendukung transisi menuju sumber energi yang lebih mandiri dan berkelanjutan.