Kementerian Kesehatan Republik Indonesia berupaya untuk meningkatkan penemuan kasus tuberkulosis (TBC) melalui optimalisasi deteksi dini atau skrining. Inisiatif ini sejalan dengan Program Hasil Cepat Terbaik (PHCT) atau Quick Win dalam penanganan tuberkulosis yang diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto.
Masyarakat yang tinggal di kawasan dengan kepadatan penduduk tinggi menjadi target utama dalam upaya penemuan kasus TBC. Tenaga kesehatan atau kader melakukan investigasi kontak, dengan minimal delapan orang diperiksa untuk setiap kasus TBC yang teridentifikasi.
Sekretaris Direktorat Jenderal Penanggulangan Penyakit, dr. Yudhi Pramono, MARS, menjelaskan alasan pemilihan kawasan padat penduduk sebagai fokus utama dalam penemuan kasus tuberkulosis.
Kawasan dengan kepadatan penduduk yang tinggi memiliki jumlah orang yang banyak dalam ruang yang terbatas. Hal ini meningkatkan risiko penyebaran penyakit TBC, yang dapat menular melalui udara ketika seseorang yang terinfeksi TBC batuk atau bersin.
Kepadatan penduduk sangat berkaitan dengan tingginya angka kasus TBC, karena kondisi lingkungan tempat tinggal yang dapat mendukung penyebaran penyakit, terutama yang berkaitan dengan sirkulasi udara yang tidak baik.
Sebuah penelitian dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Muhammadiyah Jakarta, yang ditulis oleh Triana Srisantyorini dan rekan-rekan, menganalisis kejadian TBC di DKI Jakarta dari tahun 2017 hingga 2019. Penelitian tersebut menunjukkan bahwa kepadatan penduduk memiliki hubungan yang signifikan dengan peningkatan kasus TBC.
Kondisi ini muncul akibat tingginya kepadatan penduduk yang dapat mempercepat penyebaran penyakit melalui udara atau droplet, seperti tuberkulosis. Semakin padat suatu area, semakin besar kemungkinan kuman menyebar dan terhirup oleh banyak individu.
Di samping itu, minimnya sirkulasi udara di daerah dengan kepadatan penduduk yang tinggi juga meningkatkan risiko infeksi serta mempercepat penyebaran penyakit.
Pemeriksaan tuberkulosis saat ini dapat dilakukan dengan menggunakan metode Polymerase Chain Reaction (PCR), yang merupakan teknik yang mampu mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis (MTB) secara in vitro.
dr. Yudhi Pramono menekankan bahwa PCR untuk TBC memiliki sensitivitas yang tinggi dan berfungsi sebagai metode diagnostik cepat untuk TBC paru. Selain itu, PCR juga dapat mengidentifikasi resistensi MTB, yang tidak dapat dideteksi melalui metode mikroskopis (Bakteri Tahan Asam/BTA).
Prinsip kerja PCR TBC adalah dengan memperbanyak DNA secara enzimatis dan mendeteksi DNA Mycobacterium tuberculosis berdasarkan siklus termal.
Menurut Surat Edaran (SE) Dirjen P2P Nomor HK.02.02/III.1/936/2021, Tes Cepat Molekuler (TCM) telah ditetapkan sebagai alat diagnosis utama untuk TBC di Indonesia.
TCM merupakan alat diagnostik cepat berbasis PCR yang berfungsi untuk mendeteksi bakteri MTB penyebab TBC. Saat ini, Indonesia telah memiliki sekitar 2.430 TCM yang tersebar di berbagai provinsi dan kabupaten/kota.
Tes ini memanfaatkan sampel dahak, namun tidak semua pasien dapat mengeluarkan dahak, sehingga hal ini menjadi tantangan dalam proses diagnosis.
Untuk mengatasi masalah dalam pengambilan spesimen dahak, Indonesia saat ini sedang melaksanakan studi validasi klinis alat diagnostik PCR yang menggunakan spesimen dari usap lidah.
Penelitian ini diperkirakan akan selesai pada Februari 2025 dan dilaksanakan oleh Universitas Padjadjaran (Unpad) serta Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) dengan dukungan dari Bill & Melinda Gates Foundation.
Proses penelitian masih berlangsung di Unpad dan UNS, bekerja sama dengan Bill & Melinda Gates Foundation. Apabila validasi ini berhasil, inovasi tersebut akan menjadi solusi yang lebih mudah dalam pengambilan spesimen dibandingkan dengan spesimen dahak yang sulit diperoleh.
Sebagai bagian dari Quick Win Kesehatan, pemerintah berkomitmen untuk menurunkan insidensi TBC dan meningkatkan deteksi dini melalui berbagai strategi, termasuk optimalisasi skrining di daerah padat penduduk untuk menemukan lebih banyak kasus TBC sejak awal, penguatan layanan diagnostik dengan teknologi PCR dan TCM yang lebih cepat dan akurat, percepatan penelitian inovasi diagnosa berbasis spesimen air liur untuk mengatasi tantangan dalam pengambilan spesimen dahak, serta investigasi kontak secara agresif, dengan minimal 8 orang diperiksa untuk setiap kasus TBC yang terdeteksi.
Pemerintah menargetkan eliminasi TBC di Indonesia pada tahun 2030, sejalan dengan target global WHO. Dengan strategi yang terintegrasi dan dukungan penuh dari tenaga kesehatan, kader, serta masyarakat, Indonesia semakin optimis dalam menekan angka kejadian TBC.