CSIS: Meskipun Ekonomi RI Belum Sepenuhnya Suram, Namun Sudah Menunjukkan Tanda-Tanda Kegelapan

Kamis, 08 Mei 2025

    Bagikan:
Penulis: Seraphine Claire
(CNBC Indonesia/Muhamad Sabki)

Tanda-tanda penurunan ekonomi Indonesia semakin terlihat. Para peneliti dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) mengungkapkan beberapa buktinya. Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS, Deni Friawan, menyatakan bahwa tanda pertama dapat dilihat dari semakin lemahnya pertumbuhan ekonomi Indonesia. Pada kuartal I-2025, pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,87% secara tahunan. Angka ini menurun dari pertumbuhan kuartal IV-2024 yang sebesar 5,02%, dan bahkan lebih rendah dibandingkan pertumbuhan kuartal I-2024 yang mencapai 5,11%. "Saat ini, kesimpulan yang dapat kami sampaikan adalah meskipun situasi belum sepenuhnya gelap, namun awan mendung sudah mulai terlihat," ujar Friawan dalam konferensi pers "Setengah Tahun Pemerintahan Prabowo" pada Rabu (7/5/2025). Masalahnya, penurunan laju pertumbuhan ini disebabkan oleh melemahnya komponen utama yang mendukung struktur ekonomi Indonesia, yaitu konsumsi rumah tangga. Melemahnya konsumsi rumah tangga menunjukkan berkurangnya daya beli masyarakat. Konsumsi rumah tangga yang berkontribusi 54,53% terhadap ekonomi atau PDB Indonesia pada kuartal I-2025 hanya tumbuh 4,89% yoy, jauh lebih buruk dibandingkan kondisi empat kuartal sebelumnya yang sudah berada di bawah 5% dengan kisaran 4,9%. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga terakhir kali di atas 5% terjadi pada kuartal III-2023, yaitu sebesar 5,05%. Setelah itu, pada kuartal IV-2023 hanya tumbuh 4,47%, kuartal I-2024 tumbuh 4,91%, kuartal II-2024 sebesar 4,93%, kuartal III-2024 menjadi 4,91%, dan kuartal IV-2024 sebesar 4,98%. "Kita juga tidak bisa mengabaikan fakta bahwa telah terjadi pelemahan daya beli. Hal ini dapat dilihat dari data inflasi inti dan komponen inflasi lainnya yang juga menunjukkan perlambatan," tegasnya. Kinerja ekspor juga diingatkan akan sulit menjadi harapan untuk menopang pertumbuhan di masa depan. Sebab, perang tarif dagang yang diluncurkan oleh Presiden AS Donald Trump terhadap negara-negara mitra, termasuk China, mengganggu aktivitas ekspor-impor global.

Perlambatan ekonomi semakin parah seiring dengan melemahnya ketahanan eksternal Indonesia. Nilai tukar rupiah seringkali mengalami penurunan ketika indeks dolar mengalami tekanan akibat perang dagang. "Dari perspektif eksternal, nilai tukar kita terus menurun sejak Prabowo menjabat, dan saat ini rupiah telah terdepresiasi hingga Rp 16.858/US$ atau sekitar 9,5% sejak awal kepemimpinan Prabowo," ungkap Deni. Dari segi ketahanan fiskal, situasi juga semakin memburuk, terlihat dari belanja pemerintah yang berkontribusi negatif terhadap pertumbuhan. Hal ini disebabkan oleh kontraksi penerimaan negara yang terus berlanjut dan perencanaan anggaran yang tidak berbasis teknokratis. "Akibatnya, ketiadaan APBN yang jelas setelah efisiensi anggaran tidak hanya melemahkan kepercayaan pelaku ekonomi, tetapi juga menimbulkan masalah dalam tata kelola," tambah Deni. Yang paling mengkhawatirkan adalah kerentanan ekonomi di sektor riil yang tidak kunjung membaik. Meningkatnya pemutusan hubungan kerja (PHK) mengakibatkan masyarakat kehilangan daya beli, yang tercermin dari menurunnya konsumsi rumah tangga. "Dari data yang telah kami sampaikan, kami dapat menyimpulkan bahwa perekonomian kita memang belum dalam kondisi buruk, tetapi awan gelap sudah mulai terlihat. Tanpa adanya langkah antisipatif dari pemerintah, situasi ini bisa menjadi kenyataan yang tidak diinginkan," tegas Deni.

(Seraphine Claire)

Baca Juga: Kajian Mendalam Jadi Dasar Penataan Simpang GDC Depok Dengan Dana Rp 4,5 M
Tag

    Bagikan:

Berikan komentar
Komentar menjadi tanggung-jawab Anda sesuai UU ITE.